Berita & Agenda : Monday, 30 August 2010 | 2260 Views |

Bincang-bincang dengan Mr. Oenardi Lawanto, Ph.D

“Ini bukan tentang stem cells, tetapi mengenai peminat studi di bidang STEM yang jumlah peminatnya sedang turun di AS,” kata Mr. Oenardi Lawanto, Ph.D, Kamis, 29 Juli 2010. Pernyataan Assistant Professor dari Utah State University, USA, itu disampaikan dalam bincang-bincang dengan para dosen Universitas Widya Kartika (Uwika).

Penurunan minat para pelajar SMP dan utamanya SMA terhadap bidang studi STEM (science, technology, engineering, and mathematics) ini cukup meresahkan pemerintah federal AS. Untuk itu pemerintah setempat saat ini menyediakan dana cukup besar untuk menarik minat para pelajar agar mau studi di empat bidang itu.

“Mengapa pemerintah federal sampai sedemikian beser mensupport para pelajar agar studi di empat bidang itu karena keempat bidang itu menjadi penopang perekonomian negara,” ujar pakar di bidang Human Resource Education itu.

Pemerintah AS, lanjut Mr. Oenardi Lawanto, khawatir jika penurunan minat studi di bidang STEM itu dalam jangka panjang memengaruhi daya saing AS dengan negara-negara lain, utamanya China da India. “Saat ini terutama China semakin pesat meningkatkan jumlah sarjana di bidang STEM. Jumlahnya bisa seratus persen tiap tahun,” ujar pria yang pendidikan S1 hingga S3 diselesaikan di AS ini.

Pembicaraan Mr. Oenardi kemudian bergeser ke bidang yang selama ini digelutinya, Engineering Education, khususnya di bidang Human Resource Education. Pendidikan Engineering Education sendiri merupakan cabang ilmu baru di Amerika Serikat. Saat ini masih membutuhkan cukup banyak pakar di bidang yang satu ini.

Human Resource Education, ujar doktor dari University of Illinois at Urbana-Champaign, ini penting sekali untuk melihat kepentingan perkembangan human resource di organisasi, perusahaan dan institusi-institusi lainnya.

Mr. Oenardi menawarkan tiga pola pengembangan yang bisa digunakan untuk memajukan dan memperbaiki organisasi, khususnya di bidang pendidikan. Masing-masing organizational development, training development dan career development.

Contoh paling nyata bahwa sebuah institusi telah melakukan pengembangan organisasi, misalnya tenaga dosen. Organisasi melihat dosen sebagai buruh, artinya dia dibayar tiap bulan karena mengajar mahasiswa. Perspektif semacam ini menunjukkan lembaga tidak peduli, bukan hanya dengan organizational development, tetapi juga training development dan career development.

“Training development dan career development menjadi sangat penting, jika sebuah organisasi ingin berubah menjadi lebih baik,” tandasnya.

Mr. Oenardi kemudian mempertajam perlunya training development. Menurut dia, ada banyak cara dan model yang bisa dikembangkan untuk melaksanakan training development itu.

Peraih Master of Science dari University of Dayton, Ohio, ini mengakui bahwa banyak orang lebih banyak melakukan pembaruan di organizational development. “Pembaruan di bidang yang satu ini memang penting, tetapi training development cenderung menuntut untuk lebih banyak dilakukan,” ujarnya.

Kontribusi Tak Terasa

Di sela-sela bincang-bincang ini juga diadakan sesi tanya jawab. Wakil Rektor Uwika, Drs. Darmanto, MSc, menjadi penanya pertama. Pak Dar – panggilan akrabnya – menyatakan sekaligus bertanya, bahwa di Uwika sebenarnya sudah cukup banyak dilakukan training development, tetapi mengapa kontribusinya tidak begitu terasa? Lalu, apakah yang menjadi indikator sebuah keberhasilan?

Mr. Oenardi menyatakan bahwa training tidak bisa dilakukan hanya sekali dan kemudian selesai. Training model seperti ini tidak ada gunanya. “Kalau saya diminta untuk training, saya tidak mau hanya sehari atau dua hari. Itu bukan training, itu hanya ceramah,” katanya.

Dia menganjurkan dibuat model training yang suistanable, misalnya mencontoh training yang dilakukan oleh World Bank. Mr Oenardi sendiri mengaku pernah membuat model training untuk mahasiswa Universitas Indonesia, Universitas Padjadjaran dan Univeristas Hasanuddin dengan pola yang agak mirip dengan training World Bank.

Ringkasnya, kata dia, training bisa dilakukan dengan lima fase. “Ini yang cukup sederhana, tetapi bisa dilakukan secara suistanable. Kelima fase itu :

Fase pertama, yaitu Remote, Distance. Peserta diberi paper yang sifatnya berisi cerita konflik, sehingga menimbulkan kegelisahan atau konflik batin di antara peserta. “Mengapa kok begini ya, kok begitu ya, seharusnya yang benar itu bagaimana ya? Dari situ masing-masing peserta berusaha mencari jawaban dan solusi,” katanya.

Fase kedua, peserta lebih banyak melakukan diskusi. Dari sana dihasilkan jawaban atau resolusi. Nara sumber bertindak sebagai fasilitator dan menawarkan fakta-fakta aktual. Dari diskusi itu diupayakan setiap peserta membuat action plan.

Dengan membuat action plan itu diharapkan peserta bisa menemukan discovery atau something discovered, bisa bersifat pengetahuan atau spirit. Action plan itu dibatasi, misalnya untuk satu semester dan bisa diimplementasikan.

Fase berikutnya, ketiga, masing-masing peserta bekerja sendiri dan melaksanakan action plan. Tetapi agar action plan itu bisa lebih luas kegunaannya untuk lembaga, bisa dibuat peer group terdiri dari lima atau enam orang dan disediakan fasilitator untuk melakukan monitoring sesama peer atau peserta training. Pada akhir semester, misalnya, action plan itu harus sudah nyata.

Fase keempat adalah fase face to face, sharing forum, masing-masing peserta mengutarakan cerita sukses dan cerita yang kurang sukses. “Dicari tahu di mana letak ketidakberhasilannya secara bersama-sama,” ujarnya.

Fase ini, lanjutnya, peserta perlu membuat action plan lebih besar yang bersifat kelembagaan. Ada yang memonitoring, ada komitmen, ditulis dengan jelas, dijadikan sebuah kontrak bersama. “Sedapat mungkin dipilih action plan yang memang sangat terukur dan bisa dilaksanakan oleh seluruh individu di dalam lembaga, mudah dikelola (manageable), jangan yang sulit dicapai dan dilaksanakan,” tutur Mr. Oenardi.

Yang juga penting diperhatikan adalah action plan itu bukan hanya diketahui, tetapi harus disetujui pimpinan. Pimpinan menjadi penanggungjawab. “Ini terkait dengan fase berikutnya, kelima, yaitu harus ada counter balance atau timbal balik,” ungkapnya.

Lalu dari mana training semacam itu bisa dilakukan? “Bisa dari kelompok yang kecil, misalnya di kelas, dan sebagainya,” kata Mr. Oenardi menutup bincang-bincang siang itu.